Topeng

Chapter 3
                Waktu menunjukkan pukul 6 pagi. Marsha terbangun dari tidurnya. Marsha mengambil topeng, benda yang diberikan oleh Pamannya dengan harga yang mahal. Ia melihat dengan detail topeng itu. Topeng berwarna pink keunguan, dengan corak batik dibagian pinggirnya yang disertai pengikat tali.
                Marsha bangun dari ranjang dan menuju meja makan. Ia menggeletakkan kepalanya diatas meja makan dan memejamkan matanya lagi. Topengnya masih berada digenggamannya.
“Oh, hari ini badanku terasa sakit sekali.” Katanya dengan nada lirih.
“Hei, kau tak pergi ke sekolah? Sudah jam berapa ini? Apa kau ingin dihukum?” Tiba-tiba Paman datang dari arah dapur sambil menghidangkan sarapan.
“Badanku terasa sakit, Paman. Mungkin hari ini aku tak bisa kemana-mana.”
“Kau sakit setelah mendengar penjelasanku ya? Paman kan sudah bilang padamu, lakukan saja perintahku. Tapi kau malah ingin tau alasannya. Sudah cepat makan, setelah itu kau istirahat saja di kamar. Paman mengerti perasaanmu, kau masih terlalu kaget kan?”
“Hmm..”
“Cepat habiskan.” Paman menyodorkan roti isi dan segelas susu untuk Marsha. “Aku akan memberi kabar pada wali kelasmu bahwa kau tergeletak karena kau terlalu banyak minum alkohol sampai kau mabuk semalam.” Canda Paman.
“Apa? Paman sudah gila ya? Mana mungkin aku mabuk? Aku ini anak baik-baik Paman. Lagi pula di rumah kita tak ada minuman alkohol, yang ada hanya teh hijau dan teh herbal buatanmu saja.” Marsha sebal.
“Haha iya, Paman hanya bergurau saja. Hidup ini tak usah terlalu serius. Bisa gila kau kalau terlalu serius!”
                Marsha kembali ke kamarnya setelah menghabiskan sarapan bersama Pamannya. Marsha langsung menggeletakkan tubuh mungilnya ke ranjang dan masih menggenggam topeng itu. Dengan tatapan kosong mengarah ke langit-langit kamar, ia masih mengingat persis bagaimana penjelasan Pamannya, jelas sekali.
‘Kau benar-benar ingin mengetahuinya ya? Baiklah, kau tau kan aku memerintahmu untuk memberi pelajaran kepada laki-laki itu? Aku ingin kau racuni dia, kau tau kan? Sekarang, aku tak ingin kau hanya meracuninya saja, tapi aku ingin kau membunuh keluarganya. Mengapa? Karena aku ingin perusahaan besar milik ayahnya jatuh ke tanganku!’ Seperti itulah penjelasan Paman kepada Marsha semalam, yang selalu terngiang-ngiang di pikirannya.
“Hei.. kau masih memikirkannya ya?” Tiba-tiba Paman muncul dari balik pintu.
“Aahh tidak Paman tidak.” Marsha mengelak.
“Mengaku saja! Kau ini besar bersamaku. Jadi bagaimana aku tak tau dengan apa yang kau pikirkan? Jelas saja aku tau apa yang ada dipikiranmu. Ku rasa kau menyembunyikan banyak pertanyaan ya?” Paman menebak.
“Apa? Oh..” Marsha terdiam sejenak. “Begini Paman, maaf, tapi mengapa kita harus membunuh keluarganya? Kita akan berdosa Paman, jika kita membunuh orang. Apa ada alasan lain yang kau sembunyikan dariku? Aneh rasanya jika kau memerintahku untuk membunuh orang lain hanya karena perusahaan besar. Paman sudah cukup kaya kan?”
Paman terdiam sambil menatap mata Marsha tajam. “Kau tak mengerti Marsha. Ku pikir belum saatnya untuk aku mengatakan yang sebenarnya.” Paman keluar dari kamar meninggalkan Marsha sendiri.
                Paman duduk di sofa sambil menatap foto keluarganya yang dipajang di ruang keluarga dengan bingkai cantik. Di dalam foto tersebut ada Paman Jono, Ayah dan Ibunya serta adik kandungnya bernama Hardi yang merupakan Ayah dari Marsha. Paman masih menatap foto tersebut dan meneteskan air mata tanpa dirasa.
“Bagaimana Har? Aku tak yakin bahwa Marsha bisa membalaskan perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh keluarga Kartaja padamu. Marsha lemah Har! Aku pun tak tega pada Marsha. Tapi aku tak mau tinggal diam. Perbuatan jahat mereka membuatku menyimpan amarah yang menggebu-gebu serta dendam. Aku benci mereka, benar-benar membenci mereka.” Paman berkata pelan dengan adik kandungnya yang ada di dalam foto tersebut.
**********
                Bel pulang sekolah sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Seluruh siswa berhamburan memadati pintu gerbang sekolah. Terlihat Rio sedang menunggu dijemput dengan mobil pribadinya. Dari kejauhan, seorang gadis bertopeng sedang memata-matainya. Selang beberapa menit, mobil Rio datang dan Rio segera masuk ke mobil. Gadis itu mengikuti di belakang mobil Rio dengan sepeda motornya. 
Mobil Rio memasuki halaman parkir di salah satu restoran Jepang. Kemudian Rio turun dari mobil dengan segera, membuka pintu restoran dan menuju ke station untuk memesan beberapa makanan. Ketika Rio memesan makanan, gadis yang tadi membuntuti mobil Rio sudah duduk dipojok ruangan dan masih mengenakan topengnya.
“Apa sekarang ada pesta ulangtahun ya? Mengapa orang itu memakai topeng? Aneh sekali.” Kata Rio yang tak sengaja melihat gadis itu sembari membawa makanannya dan mencari-cari tempat duduk yang nyaman.
“Tuan, disini saja. Disini sejuk sekali, dibawah AC.” Panggil supirnya.
“Apa? Jangan membuatku malu! Dasar norak! Aku disini saja.” Rio marah karena merasa dipermalukan oleh supirnya. Akhirnya Rio duduk dipojok yang hanya berbeda dua meja dari gadis itu.
“Maaf tuan, saya akan menunggu di mobil saja.”
“Terserah kau saja. Sudah, aku ingin menikmati makanan favoritku. Jangan ganggu ya!” Rio melahap makanannya dengan nikmat. Sembari makan, sesekali Rio melihat ke arah gadis itu.
                Ketika sedang asyik melahap semua makanan, tiba-tiba seorang pelayan datang ke meja Rio dengan membawa beberapa hidangan lainnya yang menggugah selera makan Rio.
“Permisi, maaf mengganggu makan anda. Kami sedang ada promo. Jadi, apabila ada customer yang membeli makanan diatas harga 100.000, kami akan memberikannya bonus. Ini bonus yang bisa anda nikmati. Terima kasih.” Kata pelayan itu ramah.
“Wah begitu ya? Terima kasih ya! Malam ini aku akan kenyang sekali.” Rio terus melahap makanannya tanpa henti.
                Pelayan itu kemudian pergi meninggalkan meja Rio, melewati meja gadis bertopeng itu dan pelayan itu mengedipkan mata serta mengacungkan jempol pada gadis itu seolah-olah semuanya sudah beres. Kemudian gadis itu pergi meninggalkan restoran.
**********
                Pagi hari di sekolah, Nindy berjalan menuju kelasnya. Tiba-tiba Nindy menghentikan langkahnya karena ia mendengar beberapa orang sedang ribut membicarakan Rio.
“Iya, apa kau tak tau beritanya? Ah, kau ini bagaimana?” Kata salah seorang murid.
“Katanya Rio diracuni ketika sedang makan di restoran!” Kata murid lainnya.
“Benarkah ia diracuni? Kasihan sekali si tampan itu.”
“Ah, mungkin ini balasan untuknya karena ia suka jahat kepada orang.”
“Jika aku tau siapa pelakunya, akan kubunuh pelakunya!”
                Nindy hanya tersenyum sinis saat mendengar keributan itu. Kemudian ia melanjutkan langkahnya kembali menuju kelasnya. Saat ia sampai di bibir pintu, teman-teman sekelasnya juga sedang ribut dengan hal yang sama. Tapi Nindy tak mempedulikannya, ia langsung duduk di kursinya.
“Kau tau tidak? Katanya Rio diracuni oleh salah satu restoran ternama!” Finna memulai pembicaraan dengan heboh.
“Ya, aku tau. Dari masuk pintu gerbang sampai aku duduk disini, semuanya membicarakan Rio. Begitu ya rasanya jadi orang kaya dan terkenal? Dimanapun pasti dibicarakan.”
“Kau ini! Aku tidak sedang membicarakan ketenarannya. Aku sedang membicarakan masalah Rio yang sedang keracunan. Aku jadi penasaran, siapa ya kira-kira orang yang tega meracuninya?”
“Tega katamu? Kurasa orang sepertinya pantas diracuni. Itu pelajaran untuknya tau!” Nindy sewot. “Tapi dia tidak mati kan?”
“Apa? Kau ingin dia mati ya? Huh, untungnya saja dia tidak mati. Dia hanya dirawat di rumah sakit. Ku dengar, katanya hari ini, mereka akan menjenguk Rio. Kau ikut?”
“Tidak! Aku tak mau melihatnya!” Tolak Nindy. Finna menatap mata Nindy tajam.
                Nindy dan Finna saling terdiam. Tak ada yang berbicara lagi saat Nindy menolak untuk menjenguk Rio. Yang terdengar sekarang hanyalah suara keributan anak-anak kelas yang membicarakan Rio.
-ISTIRAHAT SIANG-
                Seperti biasa, Nindy dan Finna menghabiskan waktu istirahatnya di kantin sekolah dengan seloyang Pizza. Kali ini Finna yang traktir.
“Apa kau tidak bosan makan pizza setiap hari? Ku rasa ibu kantin bosan melihatmu terus di stationnya hihi..” Ledek Nindy.
“Kau bosan makan pizza? Ya sudah kau pesan yang lain saja dan bayar sendiri ya! Aku tidak jadi mentraktirmu. Oya, ibu kantin tak pernah bosan melihatku tuh, aku terlalu cantik jadi ibu kantin tak pernah bosan.” Finna menjulurkan lidah.
“Ah apa? Tidak tidak. Aku suka pizza ini, pizza ini enak sekali. Ya, benar ibu kantin benar. Kau memang cantik dan tidak membosankan.” Puji Nindy sambil mengambil sepotong pizza.
“Nah begitu dong. Akhirnya kau mengakui juga kecantikanku ini. Oya, Nin, kau benar-benar tak ingin menjenguk Rio?” Tanya Finna dengan wajah yang tiba-tiba penasaran. Nindy yang sedang mengunyah pizza dengan nikmat langsung berhenti. Nindy terdiam sejenak.
“Tidak!” Jawab Nindy yakin.
“Baiklah..” Kemudian keduanya terdiam.
“Finn, jika kau tau orang yang meracuni Rio, kau mau apa?” Tanya Nindy tiba-tiba.
“Aku akan melaporkannya ke orangtua Rio dan melaporkan ke polisi agar pelakunya dihukum, kalau bisa dihukum mati saja pelakunya! Huh, aku kesal sekali.” Jawab Finna dengan emosi.
“Apa? Hukum mati? Yang benar saja kau! Walaupun meracuni orang itu tindakan kriminal, tapi tidak adil jika pelakunya harus dihukum mati. Apalagi kalau orang yang diracuninya tidak apa-apa.”
“Menurutku itu adil! Kau ini kenapa sih? Kenapa hari ini kau aneh sekali? Apa jangan jangan kau pelakunya ya? Kau yang meracuni Rio ya?” Tuduh Finna.
“Apa? Kenapa kau menuduhku? Tidak mungkin aku melakukan itu.”
“Lantas, mengapa kau sangat membela pelakunya? Kau mengatakan hukuman mati untuk si pelaku itu tidak adil, mengapa?”
“Tidak, aku tidak membela. Itu hanya pendapatku saja. Sudahlah lupakan! Cepat habiskan pizzamu.”
**********
                Sesampainya di rumah, Marsha langsung mencari pamannya. Marsha menarik pamannya ke ruang keluarga dengan cepat. Marsha duduk di sofa dan mengeluarkan beberapa benda dari tasnya.
“Hei.. kenapa kau menarik tanganku? Sakit tau!” Kata Paman kesakitan.
“Maaf Paman, tapi ini gawat! Kau harus tau ini.”
“Apa? Kelihatannya kau ketakutan sekali. Ada apa?”
“Begini Paman……” Marsha terdiam.
“Kenapa diam? Cepat katakan!” Paman mulai berkata dengan nada tinggi. Marsha kaget dan mulai ketakutan untuk berbicara.
BERSAMBUNG…

Komentar

Postingan Populer