Topeng
Chapter 4
“Kenapa diam?
Cepat katakan!” Paman mulai berkata dengan nada tinggi. Marsha kaget dan mulai
ketakutan untuk berbicara.
Marsha
meletakkan topeng dan sebungkus bubuk racun diatas meja. Paman menatap Marsha
bingung. ‘Ada apa?’ kata Paman dalam
hati. Marsha hanya menunduk takut.
“Marsha.. ayo
katakan!”
“Begini Paman,
lebih baik kita hentikan saja rencana kita membunuh keluarga Rio. Aku takut
sekali Paman.. Tadi saat aku di sekolah, semua orang membicarakan Rio. Mereka
bilang, akan membunuh pelakunya jika mereka tau siapa yang melakukannya. Aku
belum ingin mati Paman.” Marsha terus menunduk dan mulai menitikan air mata.
“Tidak Marsha.
Jika kau tau yang sebenarnya, kau pasti tidak akan mengatakan hal ini. Kau
pasti tidak akan menyerah begitu saja.” Kata Paman sambil memeluk Marsha.
“Apa Paman masih
menyembunyikan sesuatu dariku?” Marsha penasaran. Tapi Paman hanya terdiam.
“Tunggu sebentar
disini.”
Paman meninggalkan Marsha di
ruang keluarga. Paman pergi menuju gudang di belakang rumahnya untuk mengambil
sesuatu. Tak lama kemudian, Paman kembali lagi dengan membawa kotak besar yang
penuh dengan debu dipinggirnya. Mungkin karena sudah lama di gudang.
“Kemarilah..”
Panggil Paman. Marsha menghampiri Paman dengan penasaran. “Kurasa ini sudah
saatnya untuk kau mengetahui semuanya, Marsha.” Paman membuka kotak itu,
sesekali Paman meniupkan debu yang menempel pada dinding kotak.
“Ini kan
Perusahaan besar milik keluarga Rio, Paman.” Kata Marsha sambil menunjuk salah
satu foto yang ada didalam kotak itu.
“Ya, kau benar!
Tapi dulu tidak. Dulu bukan milik keluarga Kartaja.”
“Maksud Paman?”
Tanya Marsha tak mengerti.
“Lihat lihat
saja dulu isi kotaknya. Kau akan mengerti dengan sendirinya. Jika memang tidak,
baru kau tanyakan padaku.” Paman pergi ke dapur untuk membuat secangkir teh
karena Paman merasa haus sekali setelah membawa kotak besar itu dari gudang.
Marsha membongkar semua yang ada didalam kotak. Ia memperhatikan
satu persatu barang-barang yang ada didalam. Melihat berlembar-lembar foto,
membaca beberapa dokumen-dokumen perusahaan. Marsha terkejut ketika melihat
foto ayahnya bersama keluarga Rio.
“Paman.. ini
ayah dan ibu Rio, bukan?” Marsha menebak. Paman mengangguk.
“Apa ayah
berteman dekat dengan keluarga Kartaja?” Lagi-lagi Paman hanya mengangguk.
“Pamaaaan,
apakah ini ayah? Tapi, mengapa kepala ayah berdarah seperti habis ditembak? Dan
siapa orang yang mengambil gambar ini?”
“Ya, ayahmu
tertembak dibagian kepalanya. Dan aku yang mengambil gambar itu.”
“Mengapa ayahku
ditembak Paman? Kenapa juga kau mengambil gambar ini? Apa kau yang membunuh
ayahku? Dan kau merawatku hingga besar karena kau merasa bersalah telah
membunuh ayahku, Paman?” Tak terasa air mata membasahi pipi Marsha.
“Berapa umurmu
saat ini, Nak?” Tanya Paman.
“Jawab dulu
pertanyaanku Paman!”
“Aku akan
menjawabnya tapi aku harus tau berapa umurmu sekarang?”
Marsha menunduk
tak bisa menahan air matanya yang terus mengalir. “17 tahun paman. Sekarang
jelaskan!” Pinta Marsha.
“20 tahun yang
lalu, aku dan ayahmu berhasil mendirikan perusahaan kami setelah berkali-kali
gagal. Ini aku, ini ayahmu dan gedung ini adalah perusahaan yang berhasil kami
dirikan. Semua berkat kerja keras ayahmu! Dia sangat bersemangat dan tak pernah
menyerah walaupun banyak orang yang mencemoohnya.” Kata Paman sambil menunjukan
salah satu foto yang didalamnya terlihat sedang mengadakan peresmian gedung.
***
20 tahun yang
lalu…
“Akhirnya kita
berhasil juga Har. Ibu pasti senang jika tau kalau anaknya sudah berhasil.”
“Hehe syukurlah
kak. Ini juga karena kerja kerasmu kak! Setelah ini kita kunjungi ibu di rumah
sakit ya, kak.”
“Baiklah. Tapi
kita selesaikan dulu acara peresmian perusahaan kita ini. Dan kita juga harus
foto dan memberikannya kepada ibu. Aku yakin ibu pasti akan bergembira Har.”
Kakak dan adik ini meresmikan perusahaan mereka dan berfoto dengan wajah yang
bahagia.
Setelah acara peresmian selesai,
kakak beradik itu menuju rumah sakit dengan membawa beberapa foto yang sudah
dibingkai dan buah-buahan serta makanan yang lezat.
“Selamat siang
ibuku. Kami datang dan kami membawa beberapa hadiah untukmu.” Kata sang adik
sambil menggeser pintu kamar rumah sakit.
“Kalian sudah
sampai. Aku sangat mengkhawatirkan kalian. Bagaimana kabar kalian?” Tanya ibu
yang agak kesulitan untuk berbicara.
“Kami baik-baik
saja bu. Maaf ya bu kami tidak menengok ibu seminggu kemarin. Aku tau pasti kau
takut kami kenapa-kenapa. Ini makanan lezat untuk ibu! Ibu harus makan ya biar
ibu cepat sehat dan bisa pergi berlibur bersama-sama kami lagi.” Kata sang
kakak sambil membuka makanannya.
“Kau ini masih
seperti anak kecil saja haha.. kau ini sudah dewasa Jono. Kapan kau akan
menikah? Apa sudah ada calon? Bagaimana denganmu Hardi? Apa kau akan menikah?”
Tanya ibu lagi.
“Ibu, mengapa
kau bertanya tentang wanita lagi. Aku hanya ingin bersamamu, bu. Haha..” Kata
Jono.
“Ah, Jono, kau
ini benar-benar anak mama ya!” Ledek ibunya.
“Sudahlah bu,
lupakan saja. Ini bu, lihat, kami berhasil mendirikan perusahaan! Ini karena
usaha Hardi bu yang tak pernah patah semangat.” Kata Jono sambil menunjukan
fotonya bersama Hardi yang telah dibingkai.
“Ah, kakak kau
juga sudah berusaha dengan keras.” Kata Hardi sambil tersenyum lebar.
“Wah,
anak-anakku sudah berhasil sekarang. Aku bangga sekali dengan kalian. Ayah
kalian pasti bangga sekali dengan kalian, sayang dia tak bisa bersama dengan
kita disini. Tapi pasti dia sedang melihat kita dari sana dan sedang tersenyum
senang.” Mereka bertiga saling menatap dan keadaan hening seketika.
“Ibu, ini makan.
Aku sudah berat membawanya kemari dan sekarang kau harus makan ini bu. Ini
makanan terlezat yang pernah aku beli.” Jono memecah keheningan dan menyuapi
sesendok makanan yang lezat itu pada ibunya. “Bagaimana bu? Lezat kan? Apalagi
aku yang menyuapimu, tambah lezat karena aku sangat tampan haha..” Tambah Jono
sambil memasang muka lucu. Hardi hanya tertawa kecil mendengar ‘guyonan’ sang kakak.
“Kau ini sudah
besar tapi kelakuanmu masih seperti anak kecil saja. Aku jadi gemas sekali.”
Kata ibu sambil mencubit pipi Jono. “Makanan ini lezat sekali. Kau pasti
mengeluarkan banyak uang untuk membeli ini ya?” Tambah ibu.
“Aih.. sudah bu
tak perlu memikirkan berapa banyak uang yang kami keluarkan untuk ini. Yang
penting ibu senang dan cepat kembali pulang ke rumah dengan badan yang sehat.
Oke?” Kata Hardi sambil membuka tutup botol minum untuk ibunya.
TING-NUNG TING-NUNG. Dering
handphone Hardi menandakan ada pesan masuk. Diliriknya handphone tersebut dan
mendapatkan satu pesan dari seseorang yang sudah lama dekat dengan dirinya.
Teman lama saat duduk di bangku SMA, Nisrina namanya.
‘Selamat atas
keberhasilanmu mendirikan perusahaan impianmu. Terus berkembang ya! Fighting!!!
–Nisrina :).’
Begitulah isi pesannya. Hardi tersenyum membaca pesan tersebut. Dia
segera membalaskan pesan tersebut. ‘Terimakasih
sudah mendukungku! Temui aku nanti malam di tempat seperti biasa.’
“Ibu, sepertinya
adikku sedang ‘digilai’ oleh wanita, tak habis tersenyum sejak tadi haha..”
Ledek Jono.
“Apa? Tidak
tidak. Ibu, kau ingin melihat anakmu menikah, kan? Impian ibu akan terwujud
sebentar lagi bu.” Kata Hardi sambil menggenggam tangan ibunya.
“Benarkah? Oh,
aku sangat bahagia jika kau benar akan menikah. Siapapun wanita pilihanmu, aku
setuju. Asalkan dia benar-benar wanita yang baik dan percaya adanya Tuhan.
Cepatlah menikah, aku tak sabar ingin menimang cucu pertamaku.” Ibu tersenyum,
terlihat sangat gembira.
“Aku pergi dulu,
bu. Kak, jaga ibu ya? Aku pergi sebentar, oke?” Kata Hardi yang langsung lari
meninggalkan kamar rumah sakit dan melesat cepat dengan mobil sportnya.
Waktu menunjukkan pukul 7 malam.
Hardi sudah sampai di tempat biasa mereka berkencan, di Taman Kota. Hardi
mencari-cari wanitanya. Mungkin belum datang. Hardi duduk di sudut taman
dibawah pohon besar dengan membawa bungkusan makanan juga minuman.
‘Sudah hampir jam 8. Kenapa kau belum juga datang? Kemana kau, Nis?’ gumamnya
dalam hati.
KRIIIINGGG
KRIIIINGGG. Handphone Hardi berdering, ada
panggilan masuk. Yap. Akhirnya yang ditunggu-tunggu memberinya kabar. Segera
Hardi menjawab panggilan tersebut.
“Hei, kau kemana
saja? Apa kau lupa malam ini aku mengajakmu ke tempat biasa! Kau ini kenapa?
Aku sudah menunggumu berjam-jam!” Emosi Hardi meledak.
‘Maaf...’ Jawabnya dari
seberang sana.
“Apa? Maaf
katamu? Apa kau sudah tidak ingin bersamaku? Katakan! Hei, apa kau..” Belum
selesai meluapkan emosinya, wajah Hardi berubah murung juga terkejut. “Apa?
Benarkah? Kau dimana sekarang? Baiklah, aku kesana!” Hardi memutus panggilan
telepon tersebut dan segera berlari menuju mobilnya dan memacu mobilnya dengan
cepat, kebetulan jalanan malam itu sudah mulai lengang.
Sesampainya di apartemen
Nisrina, Hardi langsung membopong ayah Nisrina menuju mobilnya. Nisrina duduk
dibelakang sambil memeluk ayahnya. Nisrina tak hentinya menangis. Dibalik
kemudi, Hardi siap menginjak pedal gas dalam-dalam menuju rumah sakit terdekat.
“Kenapa kau
tidak segera menghubungiku tadi Nis?”
“Aku juga habis
keluar menebus resep obat dari dokter. Tapi ketika aku sampai rumah, ayah sudah
terbaring di lantai.” Jelasnya. “Ayah bertahanlah. Sebentar lagi kita akan
sampai. Kak, lebih cepat! Aku tidak mau ayah semakin parah.” Nisrina terus
menangis tanpa henti.
Sesampainya di rumah sakit, Ayah
Nisrina dibawa ke ruang UGD. Sementara Hardi dan Nisrina menunggu di depan
ruang UGD dengan rasa khawatir. Hening. Hanya terdengar isak tangis Nisrina
yang makin menjadi.
KREEEKKK! Pintu ruang UGD terbuka. Keluarlah seorang dokter yang kira-kira
berusia tiga puluh lima tahun. Sembari memperbaiki letak kacamatanya, dokter
tersebut menghampiri Hardi dan Nisrina.
“Anda walinya?”
Dokter memulai pembicaraan dengan Hardi dan Nisrina.
“Iya dok, saya
anaknya. Bagaimana dok? Apakah semakin parah?” Nisrina menjawab sembari
menghapus tetesan air mata yang terus mengalir di pipinya.
“Kalau parah,
memang sudah parah mba. Ayah anda perlu istirahat yang cukup. Kita lihat
bagaimana perkembangannya besok. Jika tidak kunjung membaik, kita harus
mengoperasinya. Jantungnya sudah sangat lemah.”
“Begitu ya,
dok?” Nisrina menunduk, kakinya sudah mulai lemas.
“Kami akan memindahkan
ayah anda ke ruang rawat inap. Anda bisa melihatnya disana. Baik, saya permisi
dulu. Selamat malam.” Dokter itu tersenyum dan pergi meninggalkan Hardi dan Nisrina.
“Terimakasih,
dok. Selamat malam.”
Hardi dan Nisrina menuju ruang
rawat inap. Menggeser pintu kamar rumah sakit dan melihat seorang laki-laki
lanjut usia sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit. Nisrina langsung
menghampiri, duduk disamping ranjang dan terus menangis.
“Sudah, Nis
sudah. Tak usah ditangisi, berdoa saja biar ayahmu lekas sembuh.” Kata Hardi
sambil mengelus kepala Nisrina.
“Ayah
satu-satunya yang ku punya kak! Ayah orang yang tegar walau ditinggal istri
tercintanya pergi bersama laki-laki lain. Ayah yang berjuang membesarkanku
sendirian dari aku kecil sampai sekarang. Ayah yang selalu memberi semangat,
selalu mengingatkan kalau aku salah. Hanya ayah yang selalu ada disisiku. Aku
belum siap ditinggal ayah, kak.” Tangis Nisrina makin menjadi.
“Baiklah.
Menangislah sampai kau puas, Nis.” Kata Hardi sambil mengelus kepala Nisrina.
Jadilah air mata Nisrina semakin pecah.
BERSAMBUNG....
Komentar
Posting Komentar