Topeng
FINAL CHAPTER
Malamnya, paman Jono dan Marsha
tidak mengetahui kalau Kartaja akan kembali lagi. Mereka bersantai di ruang
keluarga sambil menonton tv dan makan beberapa camilan. Tiba-tiba, pintu pagar
rumah paman berbunyi seperti ada seseorang yang memaksa buka pagar itu.
Bunyinya sangat berisik. Paman langsung keluar dan terkejut ketika melihat
supir tadi berusaha merusak gembok dan pagar dengan menggunakan kampak.
“HEI! Apa-apaan kau!” Paman langsung naik darah.
Supir itu telah berhasil membuka
pagar rumah dan hendak masuk ke dalam. Paman mendorongnya untuk keluar.
Tiba-tiba supir itu melayangkan kampaknya ke kepala paman, tapi paman berhasil
menunduk dan kampak itu terlepas dari tangan si supir. Paman memukulnya,
memberikan jurus-jurus karatenya, paman menonjok tepat di pelipisnya. Supir itu
berdarah di bagian pelipisnya dan sudah tergeletak lemas namun masih berusaha
untuk bangun.
“Kau ini mau macam-macam denganku? Hah! Dimana
bossmu? Hei, Kartaja! Kesini kau!” Paman melirik ke arah mobil Kartaja yang
sudah terparkir di depan rumah paman.
Kartaja keluar dari dalam mobilnya dengan memakai
jaket kulit hitam sambil memegang sesuatu di belakangnya.
“Wah. Sudah lama sekali kita tak bertemu, haha..
terakhir kali saat kita berpapasan di jalan bukan?” Paman menyapa Kartaja
dengan memasang wajah meledek.
“Tidak usah banyak bicara. Cepat kembalikan
anakku!”
“Haha.. aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk
bisa bertemu denganmu masa kau ingin mengakhiri pertemuan ini dengan cepat?
Bagaimana jika kita minum-minum dulu. Aku bisa siapkan teh herbal untukmu.”
“Tidak perlu. Cepatlah atau aku akan bertindak
lebih jahat padamu dan keponakanmu!”
“Aah.. kau mengancamku sekarang? Haha. Anakmu
aman, Kar. Walau aku menculiknya, tapi aku menempatkan dia di ruangan yang
bagus. Memang di gudang, tapi gudang yang kupunya sangat bersih. Aku juga
memberi anakmu makan tiga kali sehari, tentunya dengan masakan yang enak.”
Paman tersenyum licik pada Kartaja.
Kartaja semakin emosi dengan
perkataan paman Jono. Dia mengamuk, menghajar paman habis-habisan, tapi paman
mampu bertahan dengan mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Merasa sudah tak
tahan dengan paman Jono, Kartaja mengeluarkan pistol dan ia menembakkan peluru
ke sembarang arah, entah ke arah mana dan benda apa yang terkena peluru itu.
Marsha yang berada di dalam mulai
gelisah dan ketakutan. Dia masuk ke gudang tempat Rio berada. Dia melesat cepat
masuk ke gudang.
“Hei! Ada apa? Kenapa kau ketakutan? Tadi itu
suara tembakkan, ya?” Rio bertanya pada Marsha yang lari ke pojok.
“Sst.. diamlah. Sepertinya itu ayahmu!”
“Hei! Kau Nindy? Nona manis, Nindy?! Jadi, kau?”
“A.. apa?” Marsha meraba-raba wajahnya. Dia lupa
mengenakan topengnya ketika berlari ke gudang. Alhasil, Rio langsung
mengenalinya.
“Hei, haha.. aku tak percaya ini. Wah.. ternyata
selama ini kau selalu mengancamku, tak suka padaku, dan sekarang kau
menculikku. Memang aku ini kenapa, hah?!” Rio meninggikan suaranya.
“Bahkan ayahmu tak pernah bercerita apapun padamu.
Hah! Pantas saja!”
“Apa, hah? Ternyata kau adalah orang jahat? Wah,
kau bahkan menipu semua orang di sekolah! Namamu Marsha bukan Nindy, iya kan?”
“Yang jahat itu ayahmu, kau tak tau kan? Aku bukan
penipu, Nindy memang namaku. Namaku Anindy Aulia Marsha. Aku sejak kecil
dipanggil Marsha, tapi di sekolah orang-orang memanggilku Nindy. Kau saja yang
tak pernah menyadari namaku!”
Suara ribut diluar semakin gaduh.
Paman menghajar Kartaja lagi dan berusaha mengambil pistol yang dipegang
Kartaja. Tapi selalu saja gagal setiap ingin merebut pistol itu.
“Cepat kembalikan anakku!” Kartaja menodongkan
pistol untuk kesekian kalinya.
“Aku bilang kita minum-minum saja dulu. Santai
sebentar.” Paman berbicara dengan nada meledek dan mengangkat kedua tangannya.
Kartaja kemudian menyelinap masuk ke
dalam rumah paman Jono. Dia menyusuri seluruh ruangan di rumah mencari anaknya.
Paman Jono membiarkan Kartaja dan hanya tertawa melihat Kartaja yang
mencari-cari keberadaan anaknya. Tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri
paman Jono dan memohon. Paman sangat terkejut.
“Tolonglah, kembalikan anakku. Aku mohon.
Maafkanlah.” Wanita itu adalah istrinya Kartaja. Dia memohon-mohon, berlutut
sambil menangis.
“Wah kau ini! Cari saja sana dengan suamimu itu.
Hah!”
Istri Kartaja berlari menyusul Kartaja dan
berkeliling mencari Rio sambil meneriakkan nama Rio.
Lima menit lalu Marsha sudah
keluar dari gudang bersama Rio. Marsha membawa Rio ke paman Jono. Padahal tadi
Marsha dan Rio berjalan melewati Kartaja, namun Kartaja tak menyadari. Kartaja
terus berlari mencari, begitupun istrinya yang mencari ke arah yang berbeda.
“Ayah!” Panggil Rio yang sudah ada digenggaman
paman Jono. Paman memegangi Rio dengan tangan kirinya dan tangan kanannya
memegang kampak.
Kartaja yang berada jauh di depan mereka menoleh
dan berbalik badan ketika Rio memanggilnya.
“Ini kampak dari supirmu. Jika kau berani
melangkahkan kakimu di rumahku, maka anakmu akan ku sembelih dengan kampak
ini!” Ancam paman. Marsha yang berada disamping paman terkejut mendengar paman
bicara seperti itu.
“Jika kau berani menyembelih anakku, maka aku akan
menghabisi keponakanmu. Aku punya senjata yang kapan saja bisa aku gunakan!”
Kartaja mengancam balik. “Jadi, apa maumu sebenarnya, hah?!”
“Hah! Aku ingin perusahaan itu kembali padaku! Aku
ingin kau mengakui kalau kau berbuat curang dan telah membunuh adikku! Apa kau
sanggup, hah?!”
Kartaja hendak menghajar paman. Kartaja melangkah,
tapi segera dihentikan oleh paman.
“Berani kau melangkah di rumahku? Anak ini bisa mati
kapan saja!” Paman mengencangkan genggamannya.
Kartaja yang melihat paman Jono mengencangkan
genggamannya jadi semakin naik darah dan semakin ingin melangkah mendekat pada
paman Jono dan menghajar paman Jono. Kartaja membidik tepat di kepala paman
Jono dan siap menembak.
“Jangan melangkah, ayah!” Seru Rio kencang.
“Rio.. anakku!” Tiba-tiba Ibu Rio datang dari arah
samping. Berlari menghampiri Rio.
Kartaja yang mendengar teriakan istrinya refleks
melepaskan peluru selanjutnya.
DORR!!!
Ibu Rio yang berlari hendak menghampiri Rio
tertembak dengan pistol yang dipegang suaminya sendiri. Peluru itu meleset dan
malah menembak istrinya sendiri.
Marsha terkejut. Dia teringat
foto ayahnya yang juga ada bekas luka tembak tepat di kepalanya. Kartaja
langsung berlari memeluk istrinya sambil menangis. Rio yang berada tepat
didepan ibunya juga refleks menangis melihat ibunya tertembak. Paman Jono
terdiam, tak mampu berkata-kata.
Kartaja murka. Dia sangat marah dan segera
menghajar paman.
“Ini karena perbuatanmu! Kalau saja kau tak
menculik anakku, istriku tak akan tertembak!” Kartaja terus menghajar paman
Jono.
Paman Jono balas menghajar. “Hei, bodoh! Kalau
saja kau tidak mengkhianati aku dan adikku, juga kalau saja kau tidak membunuh
adikku, aku tak akan berbuat seperti ini! Aku melakukan ini semua karena ada
alasannya!” Paman menghajar Kartaja habis-habisan. Paman juga semakin marah dan
sudah tak tertahankan lagi.
Paman mengambil pistol yang ada disamping istri
Kartaja dan segera membidik jantung Kartaja. Marsha mencegah pamannya untuk
tidak melakukan hal itu, tapi paman tidak pedulikan Marsha. Paman siap menembak
Kartaja. Tapi ternyata, peluru tidak keluar. Ada apa?
“Haha.. bodoh! Aku hanya mengisi dua peluru pada
pistol itu. Sebenarnya peluru itu untukmu dan keponakanmu. Tapi aku salah
sasaran!” Dalam keadaan seperti itu Kartaja masih saja bisa meledek.
Paman semakin emosi. Lalu, paman menuju dapur dan
kembali dengan membawa pisau dapur.
“Paman, jangan!” Marsha menahan pamannya.
“Diam kau!” Paman mendorong Marsha. Paman berubah
jadi seperti orang kerasukan.
Kartaja mulai panik ketika
melihat paman Jono membawa pisau dan siap menusuk dirinya. Paman menghampiri
Kartaja, Kartaja berusaha untuk kabur. Ketika dia sudah berdiri dan siap untuk
kabur, sialnya dia tersandung karpet dan membuat dirinya tersungkur. Ini
kesempatan untuk paman menusuk Kartaja.
Kartaja sudah panik dan pasrah
saja. Dia siap menerima tusukan dimanapun. Ternyata, paman malah menyuruhnya
untuk bangun.
“Tidak secepat itu, bodoh! Aku tak akan langsung
menusukmu begitu saja. Kau juga harus mendapatkan beberapa pukulan dariku, sama
seperti yang orang-orangmu lakukan dulu pada adikku! Bangun kau!”
“Langsung saja bunuh aku!”
“Hah! Pengecut! Ku bilang bangun, cepat!”
“Paman! Sudahlah hentikan!” Marsha menangis
sekaligus marah melihat pamannya seperti itu.
“Diamlah Marsha. Ini rencanaku!”
Tiba-tiba saja Kartaja yang masih terbaring
dibawah menatap langit-langit menarik tangan kanan paman yang sedang memegang
pisau.
JLEBB!!!
Pisau itu menusuk tepat di bagian jantung Kartaja.
Paman terkejut dan tercengang. Marsha yang daritadi melihat langsung berteriak
sekencang-kencangnya kemudian menangis.
“AYAAHH!” Rio berteriak dan berlari melihat
ayahnya. “Pembunuh!” Rio marah pada paman Jono.
“Ayahmu yang menarik tanganku!” Seru paman lebih
keras.
“Tetap saja kau pembunuh! Kau memang sudah berniat
membunuh keluargaku!” Sekarang suara Rio yang lebih keras.
Marsha hanya menangis melihatnya.
Tiba-tiba terdengar suara sirine
polisi. Polisi langsung masuk ke dalam rumah dan langsung memborgol paman yang
masih memegang pisau. Polisi itu dipanggil oleh supir Kartaja yang tadi dihajar
habis-habisan oleh paman. Walau sudah lemah, supir itu tetap berusaha untuk
bangun dan menelpon polisi.
“Paman saya tidak salah, pak. Tolong jangan bawa
paman saya.” Marsha menangis dan memohon pada polisi.
“Nanti kalian jelaskan di kantor polisi. Kalian
semuanya.” Polisi segera membawa paman yang sudah diborgol ke dalam mobil
polisi.
Supir Kartaja menelpon ambulan
untuk membawa jenazah Kartaja dan istrinya, dia juga menelpon temannya untuk
membawa mobil Kartaja, menggantikan si supir yang sudah lemas tak berdaya. Si
supir, Rio, dan Marsha naik di mobil Kartaja menuju kantor polisi.
Di kantor polisi, Rio
diinterogasi di ruangan khusus. Rio berkata bahwa ia sudah diculik selama empat
hari. Kemudian supirnya juga diinterogasi, ia berkata kalau ia dihajar
habis-habisan oleh paman Jono dan membuat beberapa luka di daerah wajahnya.
Terakhir, paman diinterogasi. Paman tak menjawab apapun. Paman lebih memilih
diam. Akhirnya, Marsha yang dipanggil untuk menjelaskan kronologinya.
“Sebenarnya semua ini terjadi karena paman sangat
membenci Kartaja yang sudah merebut perusahaan paman dan ayahku. Dulu sekali,
ayahku terbunuh oleh orang-orangnya Kartaja. Tapi, entah kenapa tak ada satupun
polisi yang menghukumnya. Itu yang membuat paman marah. Paman menculik Rio,
rencana awal kami tidak membunuh. Rencana paman adalah agar Kartaja datang ke
rumah menjemput Rio dan paman akan menyuruhnya untuk mengaku kalau Kartaja
sudah berbuat curang dan sudah membunuh ayahku.” Jelas Marsha.
“Baiklah. Lalu kenapa jadi berujung pada
pembunuhan?” Tanya polisi itu lagi.
“Kartaja datang membawa pistol. Paman dan Kartaja
saling pukul, tapi karena sudah tak tahan lagi, Kartaja membidik ke arah paman
dan hendak menembak paman. Tapi, istrinya berlari menghampiri Rio yang saat itu
sedang dalam genggaman paman. Dan, Kartaja melepaskan tembakannya lalu peluru
itu mengenai istrinya. Kemudian paman dan Kartaja saling pukul lagi, Kartaja berbicara
yang tidak-tidak dan membuat paman semakin marah seperti orang kerasukan. Paman
kemudian mengambil pistolnya hendak menembak Kartaja, tapi peluru itu habis.
Paman menuju dapur, mengambil pisau dan hendak menusuk Kartaja. Aku mencegah
paman agar tidak membunuhnya. Paman seperti tersadar, tapi tiba-tiba Kartaja
menarik tangan paman yang ada pisaunya. Langsung saja pisau itu menusuk Kartaja
dan dia sekarat. Paman langsung tercengang, tak percaya. Aku hanya bisa
berteriak dan menangis. Seharusnya aku menghentikan paman. Seharusnya aku
mengajak paman pergi keluar.” Marsha menangis setelah menceritakan
kronologinya.
“Baiklah. Kalau begitu, kau silahkan keluar.
Terima kasih sudah menjelaskan yang sebenarnya.”
Marsha keluar dan menghampiri
pamannya. Rio terlihat sedang menangis di pundak supirnya. Mereka menunggu
hasil selanjutnya. Tak lama kemudian polisi keluar. Polisi memberitahu kami
bahwa paman harus melanjutkan kasus ini dipengadilan. Vonis hukuman akan
diberikan sesuai dengan keputusan hakim.
Seminggu kemudian, hari ini
adalah waktunya paman menerima hukuman. Marsha menemani pamannya ke pengadilan.
Rio dan supirnya juga ikut. Persidangan berjalan cukup lama. Sekitar satu jam
lebih hakim memutuskan hukuman untuk paman yaitu 30 tahun penjara. Paman Jono
sudah pasrah saja dengan hukuman apapun. Marsha terkejut dan hanya bisa
menangis mendengarnya. Sedangkan Rio merasa lega karena paman Jono dapat
hukuman yang cukup berat, walaupun Rio sebenarnya menginginkan hukuman mati.
***
Satu Tahun Kemudian...
Marsha berkunjung ke penjara
untuk menengok pamannya. Marsha sudah sampai di ruang khusus untuk kunjungan
keluarga. Marsha banyak bercerita, begitupun paman yang sudah terlihat ceria
dari sebelumnya. Marsha juga membawa beberapa botol teh herbal dan membawa kue
untuk pamannya.
“Bagaimana sekolahmu?” Tanya paman.
“Aku sempat dijauhi orang sekitar. Mereka bilang
aku penipu, aku penjahat, dan banyak lagi julukan baru yang kuterima. Tapi,
paman tau tidak? Rio berubah menjadi anak yang baik. Mungkin karena orangtuanya
sudah tak ada dia jadi baik begitu. Dia tinggal bersama neneknya sekarang.”
“Ya, mungkin saja. Lalu orang-orang masih
menjauhimu? Finna?”
“Awalnya Finna terkejut. Tapi aku coba menjelaskan
yang sebenarnya dan dia mengerti. Aku juga sering mengajak Finna menginap di
rumah untuk menemaniku, paman.”
“Baguslah kalau begitu. Maafkan paman tak bisa
menemanimu.”
“Sudahlah paman tak perlu minta maaf. Aku tak apa.
Ohiya, besok adalah hari pertamaku di perguruan tinggi, paman. Aku masuk
perguruan tinggi yang sama dengan Finna dan juga Rio. Doakan aku paman! Paman
tak usah memikirkan aku kuliah pakai uang siapa, aku bekerja paruh waktu di
beberapa tempat hehe..”
“Ah, kau bekerja. Coba kau lihat nanti di lemari
paman masih ada tabungan atau tidak, kalau ada kau gunakan saja untuk biaya
tambahan.”
“Ah, ya baiklah paman.”
“Maaf, waktu kunjungan sudah habis.” Sipir
menghentikan pertemuan Marsha dengan paman.
“Semangatlah Marsha! Jadilah orang yang berguna!”
Seru paman kemudian menghilang dibalik pintu bersama sipir yang sudah
membawanya.
Marsha tersenyum sambil melambaikan tangan.
Esoknya, Marsha mulai
menjalankan kehidupan barunya di perguruan tinggi bersama Finna dan Rio.
Semenjak kejadian itu, tepatnya satu tahun lalu, Rio dan Marsha jadi berteman
baik. Begitupun Finna. Awalnya, orang-orang bingung dan merasa aneh,
bertanya-tanya kenapa mereka bisa berteman? Kemana Abi dan Rangga? Ah, mereka
juga menjadi anak yang baik walaupun mereka suka jahil. Abi dan Rangga kuliah
diluar kota, memang beruntungnya disana.
Sejak satu tahun lalu, sejak
pamannya di penjara, Marsha hanya tinggal sendiri di rumah pamannya. Dia
mencari uang sendiri dan belajar dengan giat. Rio yang ditinggal mati kedua
orangtuanya, kini tinggal bersama neneknya dan tantenya. Rio sesekali membantu
usaha toko kue milik tantenya. Finna masih sama seperti setahun yang lalu,
justru dia semakin cerewet, tapi dia semakin cantik.
“Hei, nona manis, Marsha!!” Suara khas itu
memanggil Marsha dari kejauhan. Sudah pasti itu Rio. Dia sedang menunggu di
bawah pohon bersama Finna.
Marsha yang baru sampai di gerbang langsung
berlari menghampiri Rio dan Finna.
“Selamat pagi, Marsha!” Sapa Finna. “Ah iya, wajah
manis sepertimu memang lebih cocok dipanggil Marsha daripada Nindy! Aku juga
lebih suka memanggilmu Marsha, nama Marsha itu bagus sekali, dulu ibuku sempat
ingin menamaiku Marsha tapi tak jadi, katanya wajah cantikku lebih cocok dengan
nama Finna.” Finna mulai lagi berbicara yang tidak penting.
Marsha dan Rio meninggalkan Finna yang sedang
mengoceh sendiri.
“Hei! Kalian! Tunggu aku!” Finna langsung berlari
ke arah mereka.
Mereka berlari berkejaran sambil tertawa riang.
Kemudian Marsha duduk di bangku panjang depan kolam ikan. Mengeluarkan diarynya
dan mulai menulis apa yang ada dipikirannya.
‘Aku
banyak belajar dari kejadian setahun yang lalu. Aku selalu berpikir setiap
malam, tidak seharusnya mata diganti dengan mata atau gigi diganti dengan gigi.
Maksudku, kalau saja paman tidak membalas kejahatan dengan kejahatan juga,
mungkin saja paman tidak akan di penjara. Tapi, apa boleh buat, paman selalu
berpikir kalau orang jahat harus menerima pembalasan yang sama juga. Untuk
sekarang dan selanjutnya, aku sudah bertekad pada diriku sendiri, jika ada yang
berbuat jahat padaku jangan sampai aku menyimpan dendam padanya, jangan sampai
aku melakukan hal-hal yang tak seharusnya kulakukan. Ya begitulah kira-kira.
Saat ini, aku tetap bersyukur, walau paman tidak lagi tinggal bersamaku,
setidaknya masih ada dua sahabatku yang selalu menemaniku. Aku berjanji pada
paman akan menjadi orang yang berguna. Aku akan berusaha semampuku.’
- T A M A T -
Bagus raaaa wkwk keren ! ❤
BalasHapusAlhamdulillah yaAllah. Makasih Sipaaa❤ Makasih udh mampir Sipaaa^^
Hapus