Topeng
Chapter 6
Marsha begitu penasaran mendengar cerita Pamannya
tersebut. Ia selalu menunggu kelanjutan cerita dari Pamannya. Tapi, ketika itu,
Paman menghentikan ceritanya. Menyuruh Marsha masuk ke kamarnya, karena hari
sudah makin malam.
“Yah, Paman, aku masih ingin tahu lebih lagi. Aku penasaran dengan alasanmu
yang menyuruhku membunuh keluarga Kartaja. Kurasa, keluarga Kartaja itu
baik-baik saja, bahkan mendengar cerita Paman tadi aku merasa kasihan karena
perusahaannya yang bangkrut. Aku tak habis pikir dengan karyawan yang berbuat
curang itu. Kenapa mereka jahat sekali mengambil uang yang bukan haknya?”
“Akan kulanjutkan besok Marsha. Sekarang sudah jam 1 pagi. Kau harus
sekolah jam 6 pagi. Apa kau mau dihukum karena telat?” Tiba-tiba nada suara
Paman Jono berubah tinggi.
“Iya, iya, baiklah. Aku akan tidur Paman. Aku akan menagih cerita besok
pada Paman.”
Pagi ini hujan turun
sangat deras. Marsha yang sudah rapih dan siap berangkat ke sekolah pun bingung
bagaimana cara dia bisa menembus hujan dan sampai ke sekolah. Dia mencari cara,
sesekali melihat ke sepedanya, sesekali melihat kondisi hujan diluar.
“Paman akan mengantarmu. Pakai mobil.” Paman muncul sambil bersiap menuju
mobilnya.
“Apa? Ah, tidak Paman, tidak mungkin!”
“Apa yang tidak mungkin?”
“Paman, begini, yang teman-temanku tahu, aku tinggal di rumah kontrakan
kecil dengan bayaran yang murah, aku tidak punya keluarga, dan aku bekerja
paruh waktu. Kalau Paman mengantarku ke sekolah dan mereka melihat dan bertanya
macam-macam, aku harus bilang apa Paman?”
“Bilang saja pada temanmu kalau kau semalam tertidur di toko tempatmu
bekerja dan hari ini hujan, maka boss pemilik toko dengan baik hati mau
mengantarmu ke sekolah. Selesai permasalahanmu!”
“Ah, tidak Paman. Lebih baik aku tidak usah sekolah hari ini!”
“Hei! Kau harus tetap memantau Rio!”
Marsha terdiam sejenak. “Baiklah.” Raut wajah Marsha berubah menjadi tak
semangat.
Akhirnya, Paman
mengantar Marsha ke sekolah dengan mobilnya. Di perjalanan Marsha terus
bertanya mengenai kelanjutan cerita semalam. Tapi, Paman tetap diam. Paman
hanya fokus dengan setirnya, melihat kaca spion memastikan kendaraan di kiri
dan kanannya, juga fokus dengan pedal gasnya.
“Terima kasih Paman sudah mengantar. Nanti aku bisa pulang naik Bis, jadi
Paman tak perlu menjemputku lagi.” Paman mengangguk. Marsha keluar dari mobil
dan segera menuju kelasnya menggunakan payung. Syukurlah temannya tak ada yang
melihatnya diantar dengan mobil.
Jam pelajaran pertama
sudah dimulai. Semua murid sudah siap di kelas masing-masing. Lorong-lorong
kelas pun sudah sepi. Bagaimana dengan kelas Nindy? Pagi ini adalah pelajaran
olahraga dengan Pak Dandi. Pak Dandi memiliki tubuh yang besar namun beliau
sangat sehat. Olahraga apapun bisa beliau lakukan. Dan, pagi ini adalah
pengambilan nilai renang. Tapi, si pembuat onar, Rio, berulah lagi pagi ini.
Belum selesai dengan aksinya, Rio sudah ketahuan oleh pak Dandi.
“Rio!!! Kali ini apa lagi, hah?!” pak Dandi yang terkejut melihat kolam
renang sudah kotor dan langsung berlari menghampiri Rio. Semua murid pun ikut
terkejut.
Rio hanya tertawa, diiringi dengan tawa temannya, Abi dan Rangga. Kemudian
mereka berlari ke sisi kolam yang lain. “Pak Dandi mengejar kita! Cepat lari!”
Seru Rangga.
Rio menghentikan langkahnya. Pak Dandi semakin dekat dengannya. “Rio! Cari
mati kau! Cepat lari!” Seru Abi. “Duluan saja! Ada yang harus kubereskan.” Kata
Rio sambil tertawa.
“Nah, mau kemana sekarang kau? Biar kubawa kau ke ruang pak Vino! Biar tau
rasa kau!” Pak Dandi sudah didepan Rio sambil menarik telinga Rio dengan tangan
kirinya, dan tangan kanannya menggenggam bahu Rio.
“Hei, hei, tunggu dulu pak Dandi. Aku ada sesuatu untukmu.” Kata Rio sambil
membuka toples kecil yang ia bawa, kemudian menumpahkan isi toples itu ke kaki
pak Dandi. “Bersiaplah, pak. Sebentar lagi sesuatu yang menggelikan akan
menggelitiki kakimu. Haha..” Lanjutnya. Pak Dandi terkejut melihat banyak
cacing di kakinya. Rio pun berhasil kabur dari genggaman pak Dandi.
“Dasar pembuat onar!” Seru Nindy dari kejauhan.
“Apa kau bilang nona manis? Hei, aku masih bisa mendengar perkataanmu walau
jarak kita jauh!” Seru Rio sambil mengembangkan senyumnya.
“Kau akan menerima balasan yang lebih kejam, Rio!” Seru Nindy lagi. Kali
ini suaranya makin lantang.
“Apa? Lebih kejam? Apakah seperti ini?” Rio melemparkan cacing dari toples
yang lainnya kepada murid-murid perempuan. Murid-murid perempuan pun berteriak
histeris, ketakutan. Rio berlari menyusul kedua temannya sambil terus tertawa
puas. Suasana pagi ini sangat kacau.
Jam olahraga hari ini
dihentikan. Pak Dandi menyuruh murid-murid berganti pakaian dan kembali ke
kelas. Kolam renang yang kotor sudah mulai dibersihkan oleh office boy. Keributan masih berlanjut di
ruang ganti perempuan. Semua membicarakan Rio dan teman-temannya.
“Aku tak habis pikir. Kenapa orang setampan Rio itu jorok sekali? Ia
mengumpulkan cacing yang begitu banyak, juga air genangan bekas hujan. Itu
sangat menjijikan!” Kata salah satu murid perempuan.
“Apa dia tidak diajarkan kebersihan oleh orangtuanya?”
“Padahal dia anak orang kaya! Tampan lagi!” Seru yang lain.
“Tidak mungkin orangtuanya tidak mengajarkan kebersihan. Orang kaya seperti
dia pasti selalu perawatan. Tapi kenapa dia jorok sekali?” Ujar murid perempuan
yang lain.
“Sudah tau jorok, tapi mereka masih saja membicarakannya. Aneh.” Bisik
Nindy pada Finna.
“Ya, begitulah mereka. Tapi, memang benar Nin, Rio jorok sekali!
Bisa-bisanya dia mengumpulkan cacing yang begitu banyak, air genangan hujan
juga. Bagaimana dia mengumpulkan sebanyak itu? Hm.. menurutmu bagaimana? Itu
jorok kan? Ckck. Padahal Rio tampan, digilai banyak perempuan, orang kaya, tapi
kenapa dia bermain dengan cacing? Itu tidak bagus. Seharusnya dia kan.......”
Finna mulai mengoceh panjang lebar.
“Coba saja kau tanya pada cacing-cacing itu Finn!” Seru Nindy memotong
ocehan Finna, kemudian keluar dari ruang ganti dan menuju kelas.
Sesampainya di kelas,
Rio dan kedua temannya sudah duduk santai di meja guru. Ketika Nindy masuk,
mata ketiga orang tersebut menatapnya. Langkah Nindy terhenti. Nindy menatap
balik mereka. “Apa?!” Seru Nindy dengan suaranya yang lantang.
“Loh? Kenapa? Kau ingin marah?” Suara Rio lebih lantang mengalahkan suara
Nindy.
“Perbuatanmu sudah kelewatan, Rio! Apa kau tidak takut dengan balasannya?
Siapapun bisa membalas perbuatanmu! Dan, targetnya bukan hanya dirimu, bisa
saja keluargamu!” Kemudian Nindy berbalik keluar kelas. Ia tidak jadi masuk
kelas.
“Wah, wah, benar-benar perempuan yang berani si Nindy itu.” Kata Abi sambil
bertepuk tangan.
“Hei, dia benar-benar berani mengancammu. Haha..” Rangga melanjutkan.
“Ah, sudahlah.”
Sekarang sudah pukul
dua siang, sudah waktunya pulang, tapi hujan belum juga berhenti. Beberapa
murid masih menunggu hujan berhenti kecuali mereka yang sudah dijemput dengan
mobil. Nindy dan Finna masih berada di kelas, melakukan kesibukan
masing-masing.
“Apa tidak apa-apa kau telat bekerja?” Tanya Finna.
“Eh? Hm.. ya!” Jawab Nindy.
“Aku khawatir kau kena omel bossmu karena kau telat.”
“Tak masalah. Bossku akan memaklumi karena hujan yang deras hari ini.”
“Syukurlah kalau begitu.” Finna bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah
jendela, melihat kondisi diluar. “Eh, hujannya sudah reda Nin!” Seru Finna.
“Ah, benarkah? Kalau begitu, ayo kita pulang!” Finna mengangguk.
Mereka merapihkan
barang-barang mereka, kemudian berjalan berdampingan keluar sekolah. Pintu
gerbang masih ramai dengan murid-murid yang tadi juga menunggu hujan berhenti.
Nindy dan Finna memakai payung yang dibawa Nindy, berjalan menuju halte bis,
menunggu datangnya bis, dan kemudian naik ketika bis itu datang. Kebetulan
mereka memang searah.
“Loh? Sepedamu?” Tanya Finna bingung. Ia baru menyadari ternyata Nindy ikut
naik bis bersamanya.
Nindy tertawa kecil. “Kenapa wajahmu seperti orang bingung? Haha.. aku
tidak bawa sepeda hari ini karena tadi pagi hujan sangat deras.” Jelasnya.
“Oh begitu.” Finna tak bertanya yang macam-macam. Ia langsung memasang earphone dan mendengarkan musik
favoritnya.
‘Syukurlah kau tidak bertanya
macam-macam.’ Gumam Nindy dalam hati.
Jalanan terlihat
lengang dan bis yang mereka tumpangi melaju dengan cepat. Menerjang gerimis
hujan. Sesekali berhenti di halte menurunkan penumpang atau ada penumpang yang
naik. Sudah waktunya Finna turun di halte selanjutnya. Finna merapihkan earphonenya dan bersiap untuk turun.
“Aku duluan Nin, kau hati-hati ya! Semangat kerjamu hari ini! Dah..” Bis
sudah berhenti. Finna turun meninggalkan Nindy sendiri. Ia melambaikan tangan
pada Nindy dari luar jendela. Nindy membalas lambaian tangan sambil tersenyum.
***
Marsha sudah sampai di
rumah sekitar 10 menit yang lalu. Ia segera berganti pakaian dan langsung
menghampiri pamannya yang sedang menonton televisi di ruang tengah.
“Aku menagih utangmu, paman!” Seru Marsha sambil tersenyum.
Paman membuka dompet dan mengambil beberapa lembar uang. “Aku lupa berapa
utangku. Apakah ini cukup?”
“Aku serius, paman! Utangmu melanjutkan cerita kemarin!”
“Jadi kau tidak mau uang ini? Ah, baiklah. Kau memang anak baik. Mengurangi
pengeluaranku bulan depan. Padahal aku berikan ini untuk uang jajanmu bulan
depan, tapi kau menolak. Aku sangat bersyukur punya keponakan sepertimu.
Haha..” Paman meledek dan memasukkan kembali uang itu ke dalam dompetnya. Tapi,
Marsha langsung mengambil uang itu dengan cepat.
“Eh, aku butuh uang ini, paman. Kau paman terbaikku, hehe..” Marsha dengan
cepat menyambar uang itu. “Paman, ayo lanjutkan ceritanya! Aku ingin tau!”
Paman menyeruput teh herbalnya, kemudian mulai membuka mulutnya. “Setelah
Kartaja menjadi asisten ayahmu, kira-kira hampir setahun, sikapnya mulai
berubah.”
10 bulan setelah Kartaja menjadi asisten Hardi..
“Selama ini kerjamu bagus, Kar. Aku senang bekerja denganmu. Aku ingin
memberimu bonus, ya tidak seberapa, tapi mungkin setidaknya ini cukup untuk
keluargamu.” Hardi memberikan amplop cokelat.
“Ah, terima kasih, Har. Kau sudah cukup membantuku dengan memberikan
pekerjaan ini padaku. Terima kasih sekali, Har. Akan kuingat semua kebaikanmu,
Har.”
“Hei, tidak usah seperti itu, Kar. Haha.. kau ini berlebihan sekali. Oya,
aku ada janji dengan temanku, kau boleh pulang lebih dulu.” Kemudian Hardi
pergi.
Kartaja kembali ke
rumah menggunakan taksi. Di dalam taksi, Kartaja membuka amplop cokelatnya. Ia
melihat beberapa lembar uang seratus ribuan didalamnya dan juga ada sebuah
kertas. Dia membuka kertas tersebut. Kertas itu bertuliskan, “Aku akan membuka kantor cabang di dekat
komplek rumahmu, aku janji jika segala urusan sudah selesai, aku akan
menjadikanmu kepala kantor cabang itu, kau doakan saja ya, Kar.”
“Kantor cabang apanya? Hah! Dasar bodoh!” Kartaja meremas kertas tersebut kemudian
melemparnya ke jalan.
BERSAMBUNG...
Komentar
Posting Komentar