Topeng

Chapter 9

Setelah beberapa menit, Jono menghapus air matanya dan kembali sadar. Dia berusaha tegar. Dia kembali ke rumah dan hendak mampir ke rumah Hardi untuk memberitahu istri Hardi tentang kejadian ini. Di tengah perjalan pulang, ia berpapasan dengan seseorang.
“Kurasa kau benar-benar tak percaya denganku. Aku sudah bilang padamu, aku ini punya banyak relasi yang bisa ku andalkan. Haha.. sangat mudah bagiku untuk melakukan hal kecil seperti itu, haha..” orang itu tak lain adalah Kartaja.
Jono terkejut mendengar suara Kartaja. Jono merasa terpancing kembali emosinya. Dia menghampiri Kartaja dan menarik kerah baju Kartaja dengan kuat.
“Hei! Kau pengkhianat bodoh! Aku tau, kau ini otaknya! Kau yang merencanakan semua ini! Memangnya kau akan bahagia setelah berbuat curang seperti ini, hah? Kau selamat sekarang. Kalau saja aku punya bukti kuat, kau pasti sudah menginap di hotel prodeo bersama teman-teman bodohmu itu!”
Kartaja melepas tangan Jono. Berusaha merapihkan kerah bajunya kembali. Kemudian tersenyum licik dan pergi begitu saja tanpa kata.
“Bodoh! Aku akan terus mengingat ini! Lihat saja nanti apa yang akan terjadi!”
Jono sampai di rumah Hardi. Jono mengetuk pintu rumah dan istri Hardi pun menyambut kedatangannya dengan ramah sambil menggendong anaknya yang sudah berumur dua tahun.
“Ah, kak Jono rupanya. Kenapa lama sekali? Sudah dua hari tidak pulang ke rumah, hehe. Ayo masuk kak.”
Jono duduk di ruang tamu dan terdiam memandangi Nisrina, istrinya Hardi yang masih menggendong anaknya.
“Kenapa diam kak? Oh, iya mas Hardi kemana? Apa dia masih mengurus penyelidikannya? Bagaimana hasilnya, kak?”
“Maafkan aku, Nis. Aku tak berkata jujur padamu saat ditelpon kemarin malam.” Jono terisak.
“Maksudmu?”
“Kemarin aku mengatakan bahwa aku dan Hardi masih mengurus penyelidikan. Sebenarnya tidak.” Air mata sudah mulai membanjiri pipinya.
“Lalu? Tolong jelaskan dengan benar agar aku mengerti.”
Jono menjelaskan kejadian yang terjadi sebenarnya sambil menangis. Air matanya benar-benar sudah tak bisa ditahan lagi. Nisrina yang mendengar cerita Jono langsung terkejut dan menangis sejadi-jadinya.
***
Marsha yang daritadi menyimak cerita paman Jono pun ikut menangis. Dia benar-benar tidak mengetahui kejadian ini karena memang pada waktu itu dia masih kecil sekali. Tangisnya semakin pecah ketika paman memeluk Marsha.
“Lalu, bagaimana dengan ibuku?” Tanya Marsha sambil terisak.
Paman melepas pelukannya dari Marsha. Paman terdiam sambil menatap Marsha. Paman menarik napas dan menyeka air matanya. Kemudian mulai bicara lagi.
“Setelah hari itu, ibumu tak hentinya menangis. Ia mengurung diri di kamarnya, sedangkan kau ditinggal begitu saja di tempat tidurmu. Paman mengurusmu sejak itu, membuat makanan, mengajakmu bermain, bahkan aku mengganti popokmu. Aku sempat menyuruh ibumu untuk keluar dari kamar dan makan, tapi dia tak pernah keluar.”
Marsha yang tadinya sudah berhenti menangis, sekarang mulai terisak lagi.

“Sampai kira-kira tiga hari, aku ingat sekali, waktu itu aku sedang bermain denganmu. Tiba-tiba aku mendengar suara barang-barang yang dibanting dari kamar ibumu, kemudian ibumu berteriak, tertawa-tawa, dan kemudian menangis lagi. Aku berusaha membuka pintu kamarnya, tapi dia menguncinya dari dalam. Aku mencoba mendobrak pintu, tapi tubuhku terlalu lemah, ya kau tau aku juga masih dalam keadaan berduka. Aku juga masih merasakan kesedihan luar biasa pada waktu itu.”
Marsha hanya bisa menangis mendengarnya. 
“Sama seperti waktu itu, kau juga terus menangis ketika aku mendobrak pintu.” Paman tersenyum mengingat kejadian dulu. “Setelah itu ibumu diam tak ada suara. Aku pikir dia sudah sadar kembali. Esoknya, aku berniat memaksa ibumu untuk makan. Jadi, aku mencoba menghancurkan pintu kamar ibumu dengan gergaji. Aku benar-benar terkejut ketika melihat ibumu...” paman Jono menangis lagi, suaranya juga serak.
“Ibumu sudah tergantung di kamarnya. Tubuhnya sudah membiru dan dingin. Ibumu meninggal bunuh diri. Waktu itu aku merasa putus asa, merasa bodoh, mengapa aku tak membujuk ibumu untuk keluar kamar dan menenangkan diri.”
“Apa?” Marsha benar-benar terkejut. Tangisnya semakin menjadi.
“Setelah melihat ibumu meninggal seperti itu, aku benar-benar sudah putus asa. Aku pun sempat berpikir untuk bunuh diri bersamamu. Tapi, kupikir itu hal yang bodoh. Dan, tulisan ini yang membuatku sadar dan ingin terus membesarkanmu.” Paman mengambil kertas yang ada di kotak besar itu dan memberikannya pada Marsha.
Kertas itu berisi tulisan yang ditulis oleh Nisrina sebelum dia gantung diri. Paman Jono menemukan kertas itu dibawah bantalnya. Kertas itu bertuliskan, ‘Kak, maafkan aku. Aku sudah tak kuat menahan kesedihan ini. Aku tau, yang kulakukan ini konyol. Tapi, aku merasa lebih baik sekarang. Maaf aku meninggalkan Marsha padamu. Kuharap kakak menjaga Marsha hingga besar. Kau jangan melakukan hal konyol sepertiku ini kak. Aku benar-benar minta maaf. –Nisrina.’
Air mata terus membanjiri pipi Marsha. Dia menangis tanpa henti seharian ini. Paman Jono memeluk Marsha lagi. Tangisan Marsha semakin menjadi. “Kuatlah, nak!” Seru paman Jono.
***
Senin pagi, Marsha sudah bangun dengan mata yang bengkak karena menangis seharian kemarin. Wajahnya terlihat lesu dan tubuhnya lemas. Marsha sudah rapih memakai seragam dan hendak sarapan sebelum berangkat.
“Sudah. Jangan berlarut-larut. Paman kuat kau pun harus kuat!” Paman menyemangati Marsha. Marsha hanya mengangguk.
“Kau ingat harus apa?”
“Ya, tentu.” Jawab Marsha singkat.
“Kalau begitu makan yang banyak agar tubuhmu tidak lemas.” Marsha menurut saja.
Setelah selesai makan Marsha berangkat menggunakan sepedanya. Hari ini cuacanya cerah dan cukup sejuk. Butuh waktu 15 menit untuk sampai di sekolah dengan sepedanya.
“Nindy, hei, tunggu aku!” Finna memanggil Nindy yang habis memarkirkan sepedanya dan segera berlari ke arah Nindy.
Nindy membalikkan badannya dan tersenyum pada Finna. “Kenapa harus lari? Santai saja Finn!”
“Tak apa. Ayo!” Napas Finna tersengal-sengal.
“Ah, ya!” Nindy merangkul tangan Finna dan berjalan menuju kelas mereka. Finna memperhatikan wajah Nindy dengan cermat. Finna mengerutkan alisnya, seperti ada yang berbeda dari Nindy.
“Hei, kau ini sedang apa?” Nindy terheran-heran melihat Finna yang memperhatikan wajahnya seperti itu.
“Sepertinya ada yang salah denganmu. Tapi apa ya? Hm.. coba berhenti sebentar.” Finna berhenti tepat di depan Nindy dan menatap wajah Nindy lagi.
“Ah, mataku?”
“Oh, apa? Ah, iya benar matamu bengkak! Kau menangis? Kenapa? Apa kau dimarahi bossmu lagi? Ah, kurasa tidak mungkin kau akan menangis jika dimarahi bossmu. Lalu, hm.. apa karena.. aah aku tau, karena kau mulai merasakan sesuatu yang aneh kan pada Rio? Kau menyukai Rio dan kau tak terima kalau kau punya perasaan padanya. Jadi, kau menangis untuk menghilangkan perasaanmu? Ah, pasti benar!”
“Apa kau bilang? Untuk apa aku menangisi dia! Tidak mungkin. Kau ini masih pagi kenapa sudah bawel sekali?” Nindy berjalan kembali dan diikuti Finna dibelakangnya.
“Nindy, tunggu aku! Ah, kau ini selalu saja meninggalkanku.”
Nindy dan Finna berjalan bergandengan lagi hingga ke kelas. Sesampainya mereka di depan kelas, mereka begitu terkejut melihat kelas yang begitu penuh. Di kelas itu ada siswa-siswi dari kelas lain juga. Rupanya mereka sedang bersorak untuk seseorang yang sudah berdiri diatas meja guru.
“Wah.. wah.. ada apa ini?” Finna terheran-heran ketika masuk kelas.
“Hei.. teman-teman semua. Dengarkan baik-baik, oke? Hari ini, Rio orang yang paling ganteng dan kaya akan mengajak kita berpesta sepulang sekolah nanti!” Seru Abi dengan lantang, dia berdiri diatas meja guru dengan gagahnya, sedangkan Rio duduk di kursi guru sambil menaruh kakinya diatas meja.
Rangga yang berada disamping Rio ikut berseru, “Kalian boleh ajak siapapun, kalian datang saja ke restoran dekat taman kota. Tenang saja, restoran sudah dibooking untuk kita semua! Yahoo! Mari berpesta, teman-teman!” orang-orang yang berada di kelas bersorak semua, kecuali Nindy.
“Wah, keren sekali dia. Ayo kita ikut, Nin!” Ajak Finna.
Nindy hanya diam memandangi tiga orang yang banyak tingkah itu. Rio menatap Nindy tajam.
“Hei, hei, nona manis.” Panggil Rio dengan tatapan tajam dan senyum manis tapi sinis. “Aku harap kau datang, nona manis!” Lanjutnya.
Nindy tak menjawab.
“Ah, kurasa dia benar-benar menaruh perasaan padamu. Buktinya dia ingin kau datang, Nin! Kau harus datang. Bersamaku! Oke oke?” Finna berbisik dengan nada meledek.
“Tidak akan. Aku ada urusan yang lebih penting.” Bisik Nindy pada Finna.
Nindy pergi keluar dari kelas, dia tak jadi masuk kelas. Finna mengejarnya.
“Hei, kenapa kau keluar?” Tanya Finna.
“Kelas sangat penuh. Aku tak kuat melihat mereka menumpuk disana!” Nindy terus berjalan menuju kantin sekolah.
Belum sampai di kantin, bel masuk sudah berbunyi. Nindy dan Finna berpapasan dengan bu Anggra yang akan mengajar jam pertama di kelas mereka.
“Kalian mau kemana? Tidak dengar bel sudah berbunyi?!” bu Anggra selalu saja bicara dengan nada tinggi.
“Ah, iya bu.” Nindy dan Finna kembali ke kelas membuntuti bu Anggra.
Bu Anggra sungguh terkejut melihat kelas yang masih ramai padahal bel masuk sudah berbunyi. Ditambah lagi melihat tiga orang pembuat onar yang dengan santainya berdiri diatas meja guru.
“Ada apa ini? Kenapa kalian tidak kembali ke kelas? Tidak ada yang dengar bel, hah?! Kembali ke kelas masing-masing! Dan kalian, apa-apaan kalian berdiri di meja guru, hah?!” Orang-orang langsung berlarian kembali ke kelas mereka masing-masing. Rio dan kawannya langsung turun dari meja dan kembali ke meja mereka.
Sekarang sudah pukul 3 sore. Sekolah sudah bubar dan Marsha baru saja sampai di rumahnya. Marsha langsung berganti pakaian dan menemui pamannya yang sedang santai di pendopo sambil minum teh herbalnya.
“Rio mengajak anak-anak di sekolah untuk pesta di restoran dekat taman, paman.” Marsha mengambil posisi di samping pamannya.
“Itu kesempatan bagus!”
“Apanya yang bagus, paman? Itu sulit bagiku.”
“Kau bisa ikut bersama mereka. Dan setelah selesai kau lakukan aksimu.”
“Masalahnya aku tak berniat untuk hadir, paman. Aku tak suka mereka semua.”
“HEI! Kau ini serius tidak?!” Paman mulai meninggikan suaranya.
“Ah, ya baiklah. Aku akan pergi sekarang.”
Marsha kembali ke kamarnya dan menyiapkan alat-alat untuk beraksi nanti. Dia juga tak lupa membawa topeng dari paman.
Marsha mengendarai sepedanya menuju taman kota, semua yang akan datang ke pesta berkumpul di taman kota. Marsha memarkirkan sepedanya di parkiran khusus sepeda di taman kota. Sudah cukup banyak yang kumpul, beberapa orang dari kelas lain juga ikut hadir.
“Hei, Nindy, sini! Aku tau kau akan datang!” Finna memanggil Nindy.
“Oh, pakaian kita sama-sama pink!” Seru Nindy ketika melihat pakaiannya sama dengan Finna.
“Ah, kita memang sahabat sejati, Nin! Haha.. tapi, mengapa tasmu besar sekali? Kau bisa membawa tas kecil sepertiku ini. Apa yang kau bawa? Coba aku lihat!” Finna hendak membuka tas Nindy, tapi Nindy mencegah dengan cepat.
“Ng.. hei kau! Tidak ada benda bagus didalam sini.” Nindy berlari meninggalkan Finna.
“Ahh.. kau ini kenapa selalu meninggalkanku? Nindy hei!!”
Semua sudah berkumpul di restoran, termasuk Rio, Abi, dan Rangga yang baru saja datang. Rio siap memulai pestanya, Abi membuka acaranya, Rangga meniup terompet, menandakan pesta sudah dimulai. Pelayan keluar dari dapur dan membawakan banyak hidangan yang lezat. Makanan pembuka, menu utama, dan makanan penutup dihidangkan.
“Wah, makanan ini enak sekali!” Ujar salah seorang yang sedang menikmati croissant.
“Aku rasa, dia mengeluarkan banyak uang untuk semua ini!” Seru yang lainnya.
“Ah, uangnya tak akan pernah habis, percayalah!”
“Aku akan sangat kenyang malam ini.”
“Aku ingin membungkus semua makanan ini. Ini sangat enak.”
Nindy dan Finna hanya duduk di sudut ruangan. Mereka tak berkutik. Mereka seperti orang asing. Sepertinya pesta ini tidak cocok untuk mereka, apalagi saat Rio meminta bintang tamu untuk ikut memeriahkan pestanya. Bintang tamu itu adalah seorang DJ. DJ tersebut memainkan musik yang membuat orang-orang berjoget. Tapi Nindy dan Finna tetap duduk diam di tempat mereka sambil melongo melihat orang-orang yang asyik berjoget.
Pesta berakhir pukul 7 malam. Orang-orang langsung bubar ketika pesta selesai. Nindy dan Finna yang daritadi sudah tidak tahan langsung keluar dan segera pulang. Rio ikut pulang setelah membayar semua makanan. Dan, ini adalah waktunya Marsha untuk beraksi.
Apa yang akan dilakukan Marsha ya? Hmm.. Next chapter ya!^^

                BERSAMBUNG...

Komentar

Postingan Populer