Topeng
Chapter 10
Esok paginya, di sekolah sudah ramai
dengan pembicaraan orang-orang yang kemarin ikut ke pesta. Mereka membagi
keseruan pesta kemarin dengan teman yang tidak datang. Nindy melewati mereka,
di sepanjang lorong, tema pembicaraan pagi ini sama. Temanya adalah pesta
kemarin. Tiba-tiba seseorang berlari dan berseru ditengah lorong.
“Rio diculik!” Seru salah seorang laki-laki dengan
lantang.
Nindy menghentikan langkahnya.
“Apa katamu? Jangan menyebar gosip yang
tidak-tidak!” Orang-orang yang tadi sibuk bercerita, terkejut mendengar
kata-kata laki-laki itu.
“Aku tidak bohong! Supir Rio ada didepan gerbang
mencari Rio.” Kata laki-laki itu lagi.
“Hei, ada apa sih Nin?” Finna muncul tiba-tiba dan
berbisik pada Nindy.
“Entahlah.” Nindy melanjutkan langkahnya.
“Seseorang menculik Rio setelah pesta kemarin!”
Laki-laki itu berseru lagi.
Nindy berhenti lagi.
“Apa?!” Finna terkejut. “Diculik? Wah!!”
Lanjutnya.
“Iya, sungguh! Kata supirnya, ketika kalian sudah
pulang dan restoran sudah sepi, Rio juga tak kunjung keluar. Si supir masuk ke
dalam restoran dan bertanya dimana Rio. Tapi, penjaga kasir bilang kalau Rio
sudah keluar ketika selesai membayar semuanya.”
“Abi dan Rangga bagaimana?” Tanya Finna.
“Mereka sudah pulang lebih dulu.”
Suasana lorong masih ribut. Semakin
heboh. Tapi, temanya berubah menjadi hilangnya Rio. Nindy berjalan kembali
dengan cepat meninggalkan orang-orang yang sedang heboh membicarakan Rio. Finna
menyusul dibelakangnya.
Seharian ini sekolah sibuk
membicarakan Rio. Di kelas membicarakan Rio, ibu kantin membicarakan Rio juga.
Bahkan guru-guru tak ada yang mengajar. Guru-guru ikut sibuk mencari keberadaan
Rio.
“Kira-kira kemana ya si Rio itu? Apa kau percaya
kalau dia diculik? Ah, ya kurasa dia memang benar diculik. Menurutmu
bagaimana?” Finna berbisik pada Nindy.
Nindy hanya menggelengkan kepala.
“Kenapa menggeleng? Maksudmu tidak?”
“Memang sudah ada bukti kalau dia itu diculik?
Kenapa langsung menyimpulkan begitu? Siapa yang tau kalau dia itu kabur? Dan,
dia itu anaknya jahat kan? Bisa saja dia sedang melakukan kejahatan.” Jawab
Nindy ketus.
Finna terkejut. “Hei, hei.. kau! Wah, aku tak
percaya kau bisa berbicara seperti itu Nin. Aku tau kau tidak suka padanya,
tapi kau tak harus bicara seperti itu. Supirnya bilang kalau dia itu diculik.”
“Supirnya punya bukti apa sampai bisa menyimpulkan
kalau dia diculik? Kau jangan langsung percaya dengan sesuatu yang seperti
itu!”
“Bagaimana kalau memang Rio benar-benar diculik?
Bagaimana kalau ternyata dia dibunuh oleh penculiknya?”
Kali ini Nindy yang terkejut. “Apa? Hah! Aku
jarang mendengar penculik membunuh orang yang ia culik. Paling-paling penculik
itu hanya meminta uang tebusan. Jadi, ya, tidak mungkin Rio dibunuh oleh
penculiknya. Aku bisa pastikan Rio tak akan mati!”
Finna menatap Nindy dengan wajah penasaran. “Ada
yang kau sembunyikan sepertinya. Ada apa Nin? Mengapa kau terlihat seperti kau
yang habis menculik Rio?”
“Kau menuduhku? Ng, hei, aku memang membenci dia.
Ng, y.. ya.. tapi aku tak akan melakukan hal itu, Finn!” Nindy mulai gelisah.
Finna hanya menatap Nindy.
Bel pulang sekolah berbunyi. Semua
siswa berhamburan keluar sekolah membuat pagar sekolah penuh. Ada yang masih
penasaran dengan keberadaan Rio. Guru-guru yang sempat mengajar sebentar
bergegas keluar mencari Rio. Finna ikut mengobrol dengan orang-orang yang
penasaran dengan Rio. Nindy lebih memilih pulang.
‘begitu
ya, rasanya jadi anak orang kaya? Hilang saja, banyak yang khawatir. Ah,
apa-apaan aku ini!’ Gumam Nindy.
***
Sudah empat hari Rio menghilang.
Belum ada satupun orang yang bisa menemukannya. Kartaja pun sebagai ayahnya
belum menemukan dimana anaknya berada. Kedua temannya juga belum ada yang
menemukannya. Semua orang berusaha sebisa mungkin mencari Rio.
Pagi ini Marsha masuk ke dalam
gudang yang berada di belakang rumah pamannya. Marsha membawa semangkuk bubur
hangat dan teh herbal untuk laki-laki yang sudah ada di gudang selama empat
hari. Marsha masuk menggunakan topeng agar identitasnya tak ketahuan.
“Sarapanmu, Rio.” Kata Marsha pada laki-laki itu
dan kemudian duduk disampingnya.
“Kau tidak keluar? Kenapa duduk disini? Biasanya
setelah kau memberiku makan, kau akan keluar.”
“Makan dulu selagi masih hangat.” Rio memakan
bubur itu dengan lahap.
“Selesai. Jadi, kenapa kau tetap disini?” Rio
tetap penasaran dengan Marsha yang tidak kunjung keluar.
“Tak ada yang ingin kau bicarakan? Aku akan
mendengarkan jika kau ingin bicara.”
“Ah ya, benar. Aku sebenarnya sangat penasaran.
Aku pernah melihatmu di restoran mengenakan topeng itu, aku pikir kau ini gila,
haha. Jadi, kenapa kau pakai topeng? Apa kau malu karena wajahmu jelek? Haha.”
Rio masih saja berbicara sesukanya walau sekarang dia sedang dalam keadaan
diculik. Dia tidak takut sama sekali.
“Sepertinya orang jahat sepertimu tidak takut
dengan orang jahat, ya?” Tanya Marsha.
“Haha.. buat apa aku takut padamu! Kau ini tidak
ada apa-apanya. Dan juga dengan kakek-kakek itu, siapalah dia aku tidak takut!”
“Jangan sembarangan kau! Dia pamanku!”
“Ah, paman tua, haha.. Oh, ya, karena kau disini,
hm apakah aku bisa meminjam charger handphone? Dari kemarin aku ingin pinjam
tapi tak sempat.” Pinta Rio.
“Kau akan menghubungi ayahmu? Hah! Mana mungkin
aku akan pinjamkan charger padamu!”
“Baiklah tak usah kau berikan chargermu. Biarkan
orangtuaku mencariku sendiri. Omong-omong, kenapa kau dan pak tua itu
menculikku? Ah, pasti karena kau tau ayahku sangat kaya kan? Dan kau akan
meminta uang tebusan yang banyak pada ayahku kan? Mintalah yang banyak, ya?
Jika dapat, beri aku separuhnya, haha..”
Marsha merapihkan mangkok dan gelas yang sudah
kosong kemudian keluar dari gudang, mengunci pintu gudang lagi.
Marsha membersihkan mangkok dan
gelas, kemudian menuju pendopo untuk bertemu pamannya. Paman sudah di pendopo
sejak pagi, menikmati sejuknya pagi sambil meminum teh herbalnya. Paman
terlihat sedang menerima telepon.
“Kita harus mengakhiri ini, Marsha.” Kata paman
setelah menutup teleponnya.
“Maksud paman?”
“Aku baru saja menelpon Kartaja, mengatakan kalau
anaknya ada disini dan aku bilang kalau aku sengaja menculiknya.”
Marsha benar-benar terkejut. “Paman! Yang benar
saja paman! Kau merusak rencanamu sendiri? Apa-apaan sih paman ini? Hah! Aku
sudah berusaha sekuat tenagaku untuk mematuhi kemauan paman. Sekarang paman
malah mengaku pada ayahnya? Hah! Bagaimana kalau dia datang membawa polisi,
paman?” Marsha emosi.
“Aku sudah mengatakan padanya untuk datang sendiri
dan jangan membawa polisi atau kalau tidak anaknya akan kubunuh. Dia pun
bersumpah tak akan membawa polisi.”
“Lalu paman percaya? Paman kan sudah tau kalau dia
pengkhianat! Paman percaya begitu saja?” Suara Marsha semakin meninggi.
“Sudahlah. Aku sudah tau apa yang harus kulakukan.
Kau diam saja! Sebentar lagi dia pasti akan sampai.”
Benar saja, baru 30 menit yang lalu
telepon dimatikan, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah paman. Mobil
itu berkali-kali membunyikan klaksonnya. Kemudian supir pribadi Kartaja keluar
dari mobil dan menekan bel rumah. Paman pun menghampiri orang itu, sedangkan
Marsha tetap menunggu di pendopo.
“Permisi pak, anda yang tadi menelpon Pak
Kartaja?” Tanya supir itu dengan tegas.
“Dimana Kartaja? Kenapa dia tidak disini?” Paman
melihat ke dalam mobil tersebut. Supir mencegah paman.
“Pak Kartaja sedang ada urusan. Saya kesini untuk
menjemput Rio.”
“Saya tidak ada urusan dengan anda. Silahkan
pergi.” Paman yang mendengar bahwa Kartaja tidak ikut menjadi marah dan
langsung mengusir supir itu.
Si supir yang tadi diusir oleh paman
kembali ke rumah dan masuk ke ruangan Kartaja. Dia menemui Kartaja dan
mengatakan bahwa dia tidak berhasil membawa Rio pulang.
“Haha.. aku sudah mengira kau pasti akan diusir
begitu saja! Dia menginginkan diriku!” Kartaja tertawa licik.
“Jadi bagaimana tuan?”
“Orang itu hanya sendiri atau dengan siapa?”
“Saya kurang tau tuan. Tapi tadi saya melihat di
garasinya ada sepeda perempuan dan beberapa pasang sepatu perempuan.”
“Itu pasti anaknya Hardi. Baiklah, nanti malam
kita kembali ke rumah orang itu. Siapkan alat-alat yang diperlukan. Aku akan
mengurus orang itu dan kau cari Rio di sekitar rumah itu.”
“Baik tuan, akan saya siapkan.” Si supir meninggalkan
Kartaja di ruangannya dan menyiapkan peralatan yang akan dibawa.
Malamnya, paman Jono dan Marsha
tidak mengetahui kalau Kartaja akan kembali lagi. Mereka bersantai di ruang
keluarga sambil menonton tv dan makan beberapa camilan. Tiba-tiba, pintu pagar
rumah paman berbunyi seperti ada seseorang yang memaksa buka pagar itu.
Bunyinya sangat berisik. Paman langsung keluar dan terkejut ketika melihat
supir tadi berusaha merusak gembok dan pagar dengan menggunakan kampak.
BERSAMBUNG...
Komentar
Posting Komentar