Topeng
Chapter 8
Paman Jono mengajak Marsha pergi berkeliling. Selama ini Marsha tak pernah
pergi kemanapun dengan paman Jono. Marsha selalu pergi sendiri atau kadang
bersama Finna. Ini pertama kalinya Marsha diajak pergi dengan paman Jono.
“Paman, sebenarnya aku agak takut pergi denganmu. Aku takut kalau ada
temanku yang melihat.”
“Beritahu saja yang sebenarnya.” Jawab paman santai. Marsha hanya terdiam.
Marsha dan paman Jono berhenti di sebuah kedai.
Mereka bersantai sejenak di kedai itu dan memesan beberapa camilan dan es kopi.
“Paman, kau kan tak minum kopi. Kenapa sekarang?”
“Ah, aku sangat stres jika mengingat kejadian itu. Aku mengajak kau keluar
dan berhenti disini memesan es kopi untuk menghilangkan stresku. Jadi, biarkan
aku menikmati es kopi hari ini.”
“Ya, baiklah paman.” Marsha menyeruput es kopinya.
Setelah menghabiskan
es kopi dan camilan, Marsha dan paman Jono kembali ke rumah. Paman Jono
langsung merebahkan badannya di sofa ketika sampai di rumah. Marsha langsung
masuk ke kamar, membiarkan paman Jono untuk bersantai dan menghilangkan
stresnya.
Minggu pagi, paman membangunkan Marsha yang masih
tertidur di kamarnya. Paman mengajak Marsha untuk olahraga pagi. Marsha agak
malas untuk olahraga, tapi paman tetap memaksa.
“Aku tak tau kapan bisa mengajakmu olahraga seperti ini lagi. Ayolah
Marsha.” Katanya.
Marsha menurut saja dengan perkataan paman Jono.
Paman mengajak Marsha berlari mengelilingi taman. Pagi ini sangat ramai, banyak
yang berolahraga, banyak yang hanya sekedar untuk duduk duduk, atau sekedar
untuk berfoto ria saja.
Setelah berlari cukup jauh dan mulai lelah, Marsha
menyuruh pamannya beristirahat di bangku yang letaknya di sudut taman. Di sudut
taman tidak begitu ramai dengan orang. Orang-orang lebih memilih duduk di dekat
air mancur yang ada di tengah taman. Marsha pergi sebentar untuk membeli
minuman di kedai dekat taman.
“Ini untuk paman. Kau terlihat masih stres, jadi kubelikan yang manis-manis
agar stresmu hilang, paman.” Marsha memberikan segelas susu dan es krim
cokelat.
Paman tertawa menerimanya. “Memangnya aku anak kecil diberi es krim seperti
ini, haha..”
“Makan saja, paman.”
“Ah, ya baiklah. Terima kasih, Marsha.”
“Paman, sebenarnya aku ingin mendengar kelanjutannya. Tapi melihatmu
seperti ini aku jadi tak enak.”
Paman terdiam sejenak. “Oh, itu. Aku akan ceritakan. Setelah itu, aku
mengajak ayahmu untuk melaporkan ke polisi.”
-----------
Pada saat itu, Jono
kembali ke rumah setelah melampiaskan emosinya di rumah Kartaja. Jono
memberitahu Hardi bahwa Kartaja adalah seorang pengkhianat. Awalnya Hardi tak
percaya, tapi setelah melihat berkas-berkas palsu, dia terkejut dan tak
menyangka ternyata teman yang dia percaya telah mengkhianatinya.
Jono mengajak Hardi
untuk melapor ke polisi. Mereka datang ke kantor polisi dengan membawa bukti
berkas palsu tersebut. Polisi yang menerima laporan siap menyelidiki kekacauan
ini.
“Benar-benar temanmu itu Har! Aku tak habis pikir dengannya, kau sudah
dengan baik hati mempekerjakan dia tanpa perlu seleksi, kukira dia baik dan
dapat dipercaya, ternyata dia benar-benar pengacau yang bodoh! Kuharap polisi
berpihak pada kita dan segera menangkap pengkhianat itu.”
“Sudahlah kak. Tak perlu mengomel seperti itu. Mungkin memang sudah
takdirnya seperti ini. Ya, kita tunggu saja hasil dari kepolisian. Semoga itu
hasil yang baik.”
“Hei! Bagaimana bisa kau begitu sabar, hah? Aku yang hanya melihatmu
berjuang mati-matian mendirikan perusahaan saja emosi tak tertahankan,
bagaimana denganmu yang merasakan perjuangan sendiri? Kau ini!”
“Ya, sudahlah kak.”
----------------
Marsha dan paman Jono
sudah kembali ke rumah. Paman Jono langsung menyalakan film favoritnya dan
serius menonton film tersebut. Marsha baru saja selesai mandi. Marsha
menggulung rambutnya dengan handuk. Kemudian Marsha menuju dapur, membuat
makanan untuk makan siang dengan bahan seadanya.
“Paman, aku lihat ada makaroni di kulkas, jadi kubuatkan makaroni skotel
untukmu kalau lapar.” Marsha yang sudah selesai membuat makaroni ikut duduk
menonton film. Wajah Marsha penuh dengan tanda tanya sebenarnya. Dia masih
penasaran dengan bagaimana ayahnya tertembak.
“Aku tau kau sungguh penasaran.” Kata paman yang
tatapannya tak lepas dari film yang sedang ditonton.
“Eh? Ng..”
Paman mematikan film yang sedang ia
tonton dan menuju gudang mengambil kotak yang waktu itu pernah ia tunjukkan
pada Marsha. Paman mengeluarkan beberapa foto dan mulai melanjutkan ceritanya.
“Dua minggu
setelah kami melapor. Polisi memberi kabar bahwa mereka sudah mendapatkan
hasilnya. Pada saat itu, paman baru saja akan berangkat ke pernikahan teman,
aku diberi tugas untuk memotret kegiatan resepsi. Tapi, karena ada kabar dari
kepolisian, aku dan ayahmu pergi ke kantor polisi untuk melihat hasil yang
sebenarnya. Di tengah perjalanan, aku sedang asyik mengatur kameraku dan
tiba-tiba mobil kami dihadang oleh sekelompok orang tak dikenal. Ayahmu yang
mengendarai mobil langsung keluar dan menghadapi orang-orang itu. Ayahmu
dihajar habis-habisan oleh mereka sampai akhirnya salah satu dari mereka
menembak tepat dibagian kepala ayahmu. Bodohnya, aku masih saja fokus dengan
kameraku saat ayahmu sudah dihajar oleh mereka, aku baru sadar ketika suara
tembakan berbunyi. Aku keluar hendak menghajar mereka, tapi mereka keburu
pergi.” Tanpa sadar, paman meneteskan air mata. Suaranya pun langsung serak.
“Jadi, gambar ini benar paman yang mengambilnya?”
Paman mengangguk. “Aku juga sempat mengambil
gambar orang-orang itu. Aku hanya bisa menangis pada saat itu. Kami menjadi
bahan tontonan orang-orang yang lewat di jalan waktu itu. Salah satu pejalan
kaki yang melihat ayahmu sudah terbaring dengan banyak darah langsung menelpon
ambulan.”
“Lalu bagaimana dengan hasil penyelidikan polisi
dan resepsi pernikahan temanmu, paman?”
“Setelah dibawa ke rumah sakit, aku tau ayahmu
sudah tak tertolong lagi. Benar saja, dokter yang memeriksa mengatakan bahwa
ayahmu meninggal, ternyata orang-orang tadi yang menghajar ayahmu tidak hanya
melayangkan pukulan.....” Paman semakin terisak. “...mereka juga menusuk tepat
di jantungnya.” Marsha yang mendengarnya langsung terkejut dan ikut meneteskan
air mata.
“Aku memberi kabar pada temanku tentang kejadian
ini. Temanku mengerti dan membiarkanku untuk mengurus ini. Kemudian aku ke
kantor polisi. Aku sudah tidak peduli dengan hasil penyelidikannya, aku hanya
memohon pada polisi untuk menemukan orang-orang yang sudah membunuh ayahmu. Aku
memberikan gambar orang-orang itu pada polisi. Polisi pun mencarinya dan dua
hari kemudian mereka berhasil ditangkap dan dipenjara.”
“Baiklah. Kurasa masalah itu sudah selesai.
Bagaimana dengan Kartaja? Bagaimana dia bisa tetap merebut perusahaan ayah?”
“Itu.. karena waktu itu aku hanya memikirkan
orang-orang yang membunuh ayahmu, aku benar-benar melupakan hasil
penyelidikannya. Ya, jadi...”
Pada waktu itu...
Polisi sudah menangkap orang-orang
yang membunuh Hardi setelah beberapa hari. Awalnya Jono sudah sangat tenang
ketika orang-orang itu dipenjarakan. Jono merasa masalah sudah selesai. Tapi,
dia melupakan hasil penyelidikan tentang pemalsuan berkas. Akhirnya, setelah
dia teringat, dia kembali ke kantor polisi untuk menanyakan hasil sebenarnya.
“Saya kira bapak Jono sudah tak mempermasalahkan
kasus itu. Jadi, saya rasa sudah tak perlu dibahas lagi.” Kata polisi yang
menyelidiki kasus itu.
“Ah, ya. Saya benar-benar minta maaf, saat itu
saya hanya memikirkan kondisi adik saya. Saya benar-benar tak bisa berpikir
jernih.”
Polisi itu tak berkata lagi dan terus melanjutkan
pekerjaannya di meja kerjanya.
“Jadi bagaimana pak?” Jono bertanya setelah diam
sejenak.
“Pak Kartaja tidak bersalah. Bapak salah sangka.
Bukti itu tidak kuat, hanya beberapa lembar berkas dan hanya sekedar ucapan
dari bapak.”
“Apa?! Jelas-jelas berkas itu Kartaja yang
membuat! Beberapa perwakilan perusahaan pun berkata demikian!” Jono mulai naik
darah.
“Perwakilan perusahaan hanya berkata bahwa berkas
ini mereka terima dari bapak Kartaja, asisten pak Hardi. Bukan berarti pak
Kartaja yang membuat berkas ini, pak. Apa anda bisa membuktikan bahwa bapak
Kartaja yang memalsukan ini? Ini tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti.”
Jono terdiam. Dia merasa sudah putus asa. Dia tak
tahu apa yang harus dilakukan.
“Baiklah. Saya mungkin memang tak punya bukti
kuat, tapi saya yakin bahwa dia yang membuat kerusuhan ini!”
“Kerusuhan apa lagi, pak Jono?” Polisi sudah
terlihat geram dengan perkataan Jono.
“Orang-orang itu, mereka yang membunuh adik saya!
Mereka pasti orang suruhan! Saya yakin mereka orang suruhan Kartaja!” Jono
berbicara penuh emosi. Wajahnya sudah memerah, tangan sudah dikepalkan, hanya
tinggal menghajar orang yang ada di sekelilingnya. Tapi, tidak mungkin. Dia ada
di kantor polisi saat ini.
“Sudahlah pak. Bapak tak punya bukti apapun. Saya
tau anda sangat terpukul dengan kejadian ini, saya mengerti perasaan anda.
Tapi, mau bagaimana lagi?”
Jono terdiam sejenak. Kemudian Jono
teriak dan menyapu semua barang-barang yang ada di meja kerja polisi tersebut
dengan tangannya. Jono menendang meja, kursi, dan benda apapun yang dia lihat.
Emosi sudah tak tertahankan. Dia marah, menangis, dan menyumpah orang-orang
yang telah jahat pada keluarganya.
Polisi tersebut yang tak tahan
melihatnya langsung memborgol tangan Jono dan menyeretnya keluar karena dia
sudah tak bisa dikendalikan lagi. Jono tersungkur di depan pintu masuk kantor
polisi. Polisi tadi membuka borgol dan meninggalkan Jono di depan sendiri. Jono
hanya menangis dan terus menangis. Dia sudah tak berdaya. Hidupnya hancur tanpa
adiknya.
Setelah beberapa menit, Jono
menghapus air matanya dan kembali sadar. Dia berusaha tegar. Dia kembali ke
rumah dan hendak mampir ke rumah Hardi untuk memberitahu istri Hardi tentang
kejadian ini. Di tengah perjalan pulang, ia berpapasan dengan seseorang.
Siapakah orang tersebut?
Next chapter ya!^^
BERSAMBUNG...
Komentar
Posting Komentar